BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Sering
kita melihat fenomena pembiasan di lingkungan sekitar kita. Misalnya ketika
sabatang kayu yang sabagiannya masuk ke dalam kolam, kayu tersebut terlihat
bengkok. Kemudian contoh lain adalah pensil yang dicelupkan ke dalam gelas,
kemudian pensil tersebut terlihat bengkok. Padahal sebenarnya pensil tersebut
tidak bengkok. Inilah yang dinamakan pembiasan. Namun hal tersebut belum kita
ketahui bagaimana pembiasan itu bisa terjadi dan apa yang menyebabkannya. Oleh
karena itu kami melakukan percobaan mengenai pembisan pada kaca plan parallel.
Kaca plan parallel itu sendiri merupakan medium masuknya cahaya. Prinsip
kerjanya sama seperti pensil yang dicelupkan didalam air, namun mediumnya saja
yang berbeda. Percobaan ini juga membuktikan hokum snell yaitu :
Hukum I Snellius berbunyi “ Sinar datang, sinar bias, dan
garis normal terletak pada satu bidang datar”.
Hukum
II Snellius berbunyi “ Jika sinar datang
dari medium kurang rapat ke medium lebih rapat (misalnya: dari udara ke air
atau dari udra ke kaca), maka sinar di belokkan mendekati garis normal. Jika
sebaliknya, sinar datang dari medium lebih rapat ke medium kurang rapat maka
sinar di belokkan menjauhi garis normal.
Dalam percobaan kali ini, kami ingin membuktikan hal
tersebut serta bagaimana pembiasan yang terjadi.
1.2
Rumusan masalah
Bagaimana
Sifat Pembiasan Pada Kaca Plan Paralel
?
1.3
tujuan
Menyelidiki
Sifat Pembiasan Pada Kaca Plan Paralel.
1.4
Definisi istilah
1.
Sudut
Deviasi; Sudut yang terbentuk antara garis normal
dengan garis yang ditariktepat pada sinar yang keluar dari kaca plan paralel.
2. Sinar Datang; Sinar
langsung dari sumber cahaya.
3. Kaca Plan Paralel; Kaca
yang berbentuk balok.
4.
pembiasan;
Perubahan arah dari sinar yang di trnsmisikan.
1.5
Hipotesis
Cahaya
yang bergerak menempuh garis lurus akan dibiaskan oleh kaca plan paralel
sehingga terjadi pembelokan arah yang sebelumnya lurus dari sumber cahaya.
1.6
Tinjauan pustaka
Ketika cahaya melintas dari suatu medium ke
medium lainnya, sebagian cahaya datang dipantulkan pada perbatasan. Sisanya
lewat ke medium yang baru. Jika seberkas cahaya datang membentuk sudut terhadap
permukaan (bukan hanya tegak lurus), berkas tersebut dibelokkan pada waktu
memasuki medium yang baru. Pembelokan ini disebut pembiasan.
Kedua
media dan pada sudut datang. Hubungan analitis antara q1 dan q2 ditemukan secara eksperimental pada sekitar tahun 1621
oleh Willebrord Snell (1591-1626). Hubungan ini dikenal sebagai hukum snell dan
dituliskan:
|
Jelas
dari hukum Snell bahwa jika n2 > n1,
maka q2 > q1, artinya jika cahaya memasuki medium dimana n lebih besar (dan lajunya lebih kecil),
maka berkas cahaya dibelokkan menuju normal. Dan jika n2 >
n1, maka q2 > q1, sehingga berkas
dibelokkan menjauhi normal. (Douglas C.
Giancoli, 2001: 243-259).
Ketika
sebuah berkas cahaya mengenai sebuah permukaan bidang batas yang memisahkan dua
medium berbeda, seperti misalnya sebuah permukaan udara kaca, energi cahaya
tersebut dipantulkan dan memasuki medium kedua, perubahan arah dari sinar yang
ditransmisikan disebut Pembiasan. Indeks bias, yaitu perbandingan laju cahaya diruang hampa terhadap
laju cahaya di dalam medium, selalu lebih besar dari 1. Sebagai contoh, laju
cahaya didalam kaca kira-kira dua per tiga dari laju cahaya di ruang bebas.
Jadi indeks bias kaca kira-kira n= c/v = 3/2 .
Gambar 3a
Pada
gambar 1 di atas menunjukkan cahaya mengenai sebuah permukaan udarakaca yang
rata. Sinar yang memasuki kaca disebut sinar yang dipantulkan, dan sudut
θ2 disebut sudut bias. Sudut bias lebih kecil
dari sudut datang θ1
seperti
ditunjukkan pada gambar. Jadi, sinar yang dipantulkan dibelokkan menuju garis
normal. Kita dapat menghubungkan sudut bias θ2 dengan indeks
bias kedua media n1 dan n2 dan dengan sudut datang θ1 dengan
memakai prinsip Huygens.
(Tipler, 1991: 446-447)
Konsep dasar pembiasan cahaya adalah Hukum Snellius yang
terbagi menjadi 2.
Hukum I Snellius berbunyi “ Sinar datang, sinar bias, dan
garis normal terletak pada satu bidang datar”.
Hukum II Snellius berbunyi “ Jika sinar datang dari medium kurang rapat ke medium lebih rapat
(misalnya: dari udara ke air atau dari udra ke kaca), maka sinar di belokkan
mendekati garis normal. Jika sebaliknya, sinar datang dari medium lebih rapat
ke medium kurang rapat maka sinar di belokkan menjauhi garis normal.
Ketika seberkas cahaya bergerak dari udara dengan sudut
datang θi cahaya
di belokkan mendekati garis normal dengan sudut bias θr. Lambang
indeks bias mutlak adalah n. Jadi, indeks bias mutlak n untuk cahaya yang
bergerak dari vakum (udara) menuju ke suatu medium tetentu dinyatakan dengan
persamaan
|
Indeks bias mutlak suatu medium dapat dipandang sebagai
suatu ukuran kemampuan medium itu untuk membelokkan cahaya. Medium yang
memiliki indeks bias lebih besar adalah medium yang lebih kuat membelokkan
cahaya.
Di udara, laju cahaya hanya sedikit lebih kecil. Pada benda transparan
lainnya, seperti kaca dan air, kelajuan selalu lebih kecil disbanding di udara
hampa. Perbandingan laju cahaya di uadara hampa dengan laju v pada materi
tertntu di sebut indeks bias (n), dari materi tersebut:
|
Indeks bias tidak pernah lebih kecil dari 1 (artinya, n≥1), n sedikit
bervariasi terhadap panjang gelombang cahaya kecuali di hampa udara sehingga
suatu panjang gelombang tertentu di tentukan, yaitu untuk cahaya kuning dengan
panjang gelombang λ= 598 nm.
Kajian experimental mengenai arah sinar masuk, sinar yang di refleksikan,
dan sinar yang di refraksikan pada antar muka yang halus diantara dua material
optic memunculkan kesimpulan-kesimpulan berikut :
1. Sinar yang masuk, sinar yang di refleksikan, dan sinar
yang di refraksikan dan normal terhadap permukaan semuanya terletak pada bidang
sama.
2. Sudut refleksi θr sama
dengan sudut masuk θa untuk
semua panjang gelombang dan untuk setiap pasang material.
|
3. Untuk cahaya monokromatik dan untuk sepasang material
yang diberikan, a dan b pada sisi-sisi yang berlawanan dari antar muka itu,
rasio dari sinus sudut θa dan
θb dimana
kedua sudut itu di ukur dari normal terhadap permukaan , sama dengan kebalikan
dari rasio kedua indeks refraksi:
|
Atau
|
Sudut kritis pada suatu refleksi total misalkan sinar dari zat berindeks
bias lebih tinggi masuk ke zat dengan indeks bias lebih rendah. Seperti pada
gambar. Sebagian sinar masuk di bias, dan sebagian sinar di pantulkan ada
permukaan batas. Karena sudut θ2 harus
lebih besar dari θ 1,
mungkin sekali θ1
dibuat sedemikian besarnya hingga θ2=
900. Harga θ1
ini di namakan dengan sudut kritis. Untuk harga-harga θ1
yang lebih besar dari harga ini tidak terjadi pembiasan seluruh cahy pada sinar
masuk akan di pantulkan.
Syarat pantulan total berlaku hanya jika θ1
lebih besar dri sudut kritis, θc
yang memenuhi :
|
Karena sinus tak mungkin lebih besar dari satu, persamaan
ini sekali lagi menekankan bahwa refleksi total hanya terjadi jika n1
> n2.
Pada tahun 1812 ilmuwan Inggris Sir David Brewster menemukan bahwa bila
sudut masuyk sama dengan sudut polarisasi θP maka sinar yang
direfleksika dan sinar yang direfraksikan tegak lurus satu sama lain. Dalam
kasus ini, sudut refraksi θb menjadi komplemen dari θP
sehingga θb = 90o - θP. Dalam hukum refraksi, yakni
|
|
|
(Hugh
D Young dan Roger A Freedman, 2004: 497-512).
Arah seberkas cahaya dapat diubah dengan menggunakan
pemantulan pada cermin parabolik. Alat
yang dapat mencapai maksud yang sama dengan pembiasan disebut lensa. Untu memahami kerja lensa, dapat dipandang gabungan dua
prisma dan plet paralel. Pemusatan cahaya oleh kombinasi pelat paralel dan
prisma mirip dengan yang terjadi pada pemantulan oleh beberapa cermin datar,
dalam hal itu kita mendapatkan bahwa daerah dimana sinar-sinar pantul
dipusatkan bertambah kecil jika jumlah cermin diperbanyak, da ukuran cermin
diperkecil.
(Sutrisno,1979:129-130)
BAB
II
METODOLOGI
2.1 Alat dan
Bahan
·
Meja optik
·
Rel presisi
·
Pemegang slide diafragma
·
Bola lampu 12 V, 18 V
·
Diafragma 1 celah
·
Tumpukan berpenjepit
·
Balok kaca
·
Lensa f = 100 mm bertangkai
|
· Catu daya
· Kabel
penghubung merah
· Kabel
penghubung hitam
· Tempat
lampu bertangkai
· Mistar 30
cm
· Kertas hvs
putih
· Busur
derajat
|
2.2 Langkah
Kerja
a. Buatlah
garis-garis bersudut 200, 300 dan seterusnya sampai
dengan
sudut 600 dengan garis
sumbu PQ pada kertas itu.
b. Letakkan
kaca plan paralel dengan posisi seperti terlihat pada gambar. Usahakan agar
pertengahan sisi kaca plan paralel tepat dititik O (perpotongan garis-garis
pada kertas).
c. Putarlah
kertas sehingga sinar datang berimpit dengan garis yang bersudut 200
terhadap PO. Dengan demikian sudut datang sinar (sudut d) sama dengan 200.
d. Tarik
garis tepat pada sisi belakang kaca plan paralel kemudian buatlah 2 tanda
silang tepat pada sinar yang keluar dari (meninggalkan) kaca plan paralel.
e. Singkirkan
kaca plan paralel dan dibuat garis normal n untuk mengetahui r (sudut arah
sinar saat meninggalkan kaca plan paralel).
f. Ukurlah
sudut bias (sudut b) dan r’. Lalu diisikan hasilnya ke dalam tabel pada kolom
hasil pengamatan.
Diulangi
langkah b sampai f untuk sudut datang d yang lainnya.
BAB
III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Data
No
|
d
|
r(b)
|
r’
|
1
|
200
|
120
|
200
|
2
|
300
|
170
|
300
|
3
|
400
|
270
|
360
|
4
|
500
|
330
|
360
|
5
|
600
|
380
|
360
|
Keterangan:
d = Sudut datang
r = Sudut Bias dari kaca ke udara
r’ = Sudut bias
dari udara ke kaca
3.2 Perhitungan
Perhitungan indeks bias
dengan rumus
1) Indeks bias pada saat d = 200
a = sin b/ sin d
a = sin 120 / sin 200
a = 0,2/0,342
a = 0,58
karena 1/n2 =
a
maka n2 = 1/a
=1/0,6
=1,6
2) Indeks
bias pada saat d = 300
a = sin b/sin d
a = 0,3/0,5
a = 0,6
karena 1/n2 = a
maka n2 = 1/a
= 1/0,6
=1,6
3) Indeks bias pada saat d = 400
a = sin b/ sin d
a = sin 270/sin 400
a = 0,45/0,64
a = 0,7
karena 1/n2 = a
maka n2 = 1/a
= 1/0,7
=1
4) Indeks bias pada saat d = 500
a = sin b/ sin d
a = sin 330/ sin 500
a = 0,54/0,76
a = 0,7
karena 1/n2 = a
maka n2 = 1/a
= 1/0,7
=1,4
5)
Indeks bias pada saat d = 600
a = sin b/ sin d
a = sin 360/sin 500
a = 0,59/0,86
a =0,7
karena 1/n2 = a
maka n2 = 1/a
= 1/0,7
= 1,4
3.4 Pembahasan
Percobaan
ini untuk mengetahui pembiasan cahaya pada kaca plan parallel dengan sudut bias
yang berbeda-beda. Dalam percobaan ini menggunakan lensa fokus 100 mm yang
berfungsi untuk memusatkan cahaya yang akan melewati diafragma 1 celah dan
selanjutnya diteruskan ke kaca plan parallel. Kaca plan parallel tersebut
merupakan balok kaca yang berfungsi sebagai medium untuk pembiasan cahaya dan
diletakkan di atas meja.
Sumber cahaya akan melewati lensa fokus
100 mm, selanjutnya cahaya dipusatkan oleh lensa menu diafragma 1 celah dan
senjutnya menuju kaca plan parallel yang akan di biaskan. Berkas sinar itu
masuk dari sisi balok kaca dengan sudut datang mulai 200, 300, 400, 500, dan 600. Berkas
sinar itu melalui medium dan mengalami dua kali pembiasan. Pembiasan pertama
yaitu berkas sinar melewati bidang batas antara udara ke balok kaca (n1ke n2). Berkas sinar tersebut
menuju garis normal(n) dengan sudut bias b. kemudian cahaya tersebut akan
mengalami pembiasan lagi yaitu saat melewati batas antara balok kaca dan udara
(n2ke n1), berkas sinar datang ke bidang bias dengan
sudut i’ dan dibiaskan menjauhi garis normal(n) dengan sudut bias r’. hal ini
sesuai dengan hukum snell II yang
berbunyi :”jika sinar datang dari médium
kurang rapat ke médium lebih rapat, maka sinar dibelokkan menuju garis normal.
Jika sebaliknya, sinar datang dari médium lebih rapat ke kurang rapat maka
sinar dibelokkan menauhi garis normal”.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
gambar dibawah ini.
garis
normal
|
Dari data
percobaan bahwa semakin besar sudut sinar datang maka akan semakin besar pula
sudut bias yang terbentuk. Artinya d =
r. Dan sudut pantul itu sendiri seharusnya sama dengan sudut datang, tetapi
pada percobaan ini hasilnya tidak sesuai dengan literatur. Sudut datang 400
seharusnya sudut pantul 400 juga tetapi dari percobaan kami hanya 360.
Untuk indeks bias dapat dihitung menggunakan persamaan :
|
Dari hasil percobaan bahwa indeks rata-ratanya adalah
1,48. Hal ini berbeda dengan nilai indeks bias kaca dari buku penuntun, karena laju
cahaya didalam kaca kira-kira dua per tiga dari laju cahaya di ruang bebas.
Jadi indeks bias kaca kira-kira n= c/v = 3/2 =1,5. Terlihat bahwa ada perbedaan
besar nilai indeks bias kaca dari praktikum dengan buku penuntuk. Hal tersebut
dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
1. Kesalahan
dalam pengukuran sudur dengan menggunakan busur.
2. Kesalahan
penglihatan karena mata praktikan tidak tegak lurus dengan alat ukur ketika
pengukuran. Karena ketika kita melihat sebuah benda, menurut model berkas,
cahaya mencapai mata kita dari setiap titik pada benda; walaupun berkas cahaya
meninggalkan setiap titik dengan banyak arah, biasanya hanya satu kumpulan
kecil dari berkas-berkas ini yang dapat memasuki mata si peneliti. Jika kepala
orang tersebut bergerak ke satu sisi, kumpulan berkas yang lain akan memasuki
mata dari setiap titik.
3. Adanya
getaran atau gangguan saat percobaan terjadi.
Suatu
cahaya yang berjalan dengan sudut miring melalui perbatasan (balok kaca) dengan
indeks bias yang berbeda antara indeks bias udara dan kaca, menyebabkan sinar
akan membelok. Gejala ini di sebut
dengan pembiasan Selain itu, pembelokan arah jalar cahaya dapat disebabkan juga
oleh kecepatan jalar gelombang cahaya. Karena kecepatan jalar gelombang cahaya
di dalam kaca berbeda dengan kecepatan jalar cahaya di udara.
BAB
IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
1. Sinar
yang masuk pada kaca plan paralel dibelokkan menuju garis normal.
2.
Semakin besar sudut yang dibentuk oleh sinar datang maka
akan semakin besar pula sudut bias yang terbentuk.
3.
Sudut bias bergantung pada laju cahaya kedua media dan
pada sudut datang.
4.2 Saran
1.
Diharapkan sebelum melakukan percobaan, praktikan
mengetahui maksud dan tujuan percobaan tersebut.
2.
Hendaknya praktikan paham mengenai percobaan yang
dilakukan.
3.
Diharapkan keseriusan dan ketelitian pratikan, agar
percobaan tidak mengalami kesalahan.
4.
Setelah melakukan pratikum, hendaknya pratikan perlu
menanyakan mengenai hal-hal yang belum dimengerti.
DAFTAR PUSTAKA
Giancoli, douglas C. 2001. Fisika Jilid 2. Jakarta: Erlangga
Sutrisno. 1979. Fisika dasar seri gelombang dan optik. Bandung: ITB
Tipler, Paul
A. 1998. Fisika Untuk Sains dan teknik
Jilid 2. Jakarta: Erlangga
Young dan Freedman. 2004. Fisika
Universitas Edisi 10 Jilid 2. Jakarta: Erlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar